Translate

Mangan ora mangan anggere nglumpuk

O






Membicarakan budaya Jawa terlebih dahulu perlu diketahui siapa masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa merupakan orang-orang yang bertempat tinggal, bergaul, dan berkembang di pulau Jawa yang kemudian mengembangkan tradisi dan kebudayaan yang khas dan berkarakteristik Jawa. Masyarakat Jawa adalah mereka yang secara geografis bertempat tinggal di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Mereka mengembangkan kebudayaan Jawa. Kebudayaan merupakan unsur pengorganisasian antara individu dan membentuknya menjadi satu kelompok dalam rangka mempertahankan eksistensi manusia di dalam lingkungan hidupnya. Kebudayaan memiliki ciri, yaitu penyesuaian manusia kepada lingkungan hidupnya dalam rangka mempertahankan hidup sesuai dengan kondisi yang menurut pengalaman atau tradisinya merupakan yang terbaik. Kebudayaan juga dimaknai sebagai hasil cipta, rasa, karsa manusia dalam satu komunitas dalam rangka adaptasi diri individu dan kelompoknya agar tetap survive dan memiliki kualitas terbaik sesuai dengan pandangan  hidup dan pengalamannya. Kebudayaan berarti terkait dengan komunitas dan identitas sosial.
Kebudayaan Jawa adalah kebudayaan yang berkembang dalam masyarakat Jawa dengan beberapa variasi dan heterogenitas masyarakat, baik di wilayah Jawa Tengah, Yogyakarta, maupun di Jawa Timur, Sub-budaya Jawa telah berakulturasi dengan budaya Sunda di Jawa Tengah bagian barat dan berakulturasi dengan budaya Madura di Jawa Timur sebelah Timur. Sub-budaya Jawa juga berkembang di lingkungan masyarakat Jawa yang bermigrasi ke luar Jawa atau luar negeri. Mereka mengembangkan budaya Jawanya yang kemudian berkembang dan memiliki karakteristik tersendiri dan khas.
Secara sosiologis, kebudayaan akan berdialog dengan individu dan kelompok social dimana individu akan memberi kontribusi terhadap perkembangan kebudayaan sebagaimana orang lain secara individual maupun kelompok selalu memberikan saham untuk pengembangan dan perubahan terhadap budayanya. Keniscayaan berakulturasi seperti ini memberikan pemahaman bahwa budaya itu hidup dan berkembang sesuai dengan dinamika masyarakatnya. Berpegang pada budaya berarti berpegang pula pada pergerakannya yang dinamis.
Salah satu kebudayaan Jawa yang sangat familiar dan menjadi sebuah falsafah hidup yang sangat baik namun saat ini disalah artikan menjadi sesuatu yang dianggap tidak penting atau justru sikap yang merugikan. Falsafah dari sebuah jargon “mangan ora mangan kumpul” sering disalah artikan sebagai sikap malas sehingga lebih mendahulukan kumpul (mengobrol) yang tidak jelas tujuannya daripada bekerja untuk mencari penghidupan (mangan).
Sebenarnya peribahasa mangan ora mangan sing penting kumpul mengandung nilai ajaran sosial yang luhur. Ini merefleksikan sikap hidup nenek moyang dahulu dalam berinteraksi sosial dengan sesama. Sikap hidup yang lebih mengutamakan kerukunan  sesama (kumpul) daripada sekedar memenuhi kebutuhan pribadi (mangan). Jika perlu, tidak makanpun (ora mangan) dijalani asal kerukunan tetap terjaga.
Dalam arti lain istilah “mangan ora mangan sing penting kumpul” ini juga dapat diartikan sebagai wujud silaturahmi. Paseduluran atau persaudaraan menjadi tema penting dalam budaya Jawa. Kesetiaan dalam persahabatan menjadi tolok ukur martabat seseorang. Persaudaraan dan persahabatan bagi orang Jawa dipegang kuat-kuat.
Mangan (makan) memang melambangkan kebutuhan esensial manusia sebagai makhluk individu. Sedangkan kerukunan (kumpul) adalah representasi kebutuhan kita sebagai makhluk sosial. Hablun min-annas. Makanya kebutuhan individu jika perlu  harus dikorbankan demi menjaga kepentingan umum yakni  kerukunan (kumpul) sesama. Ini mencirikan satu sifat makhluk sosial yang senantiasa menjunjung nilai persahabatan dan persaudaraan dan menempatkannya diatas kepentingan pribadi sebagai makhluk individu.
Di daerah yang masih kental budayanya, kita sering melihat refleksi dari peribahasa ini dalam kehidupan sehari – hari. Misalnya gotong royong atau sambatan dimana setiap warga merasa berkewajiban  datang membantu tetangga yang punya hajatan  untuk menyelesaikan pekerjaannya meski hanya dijamu apa adanya.  Selain terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar, silaturahmi ini juga kental dilaksanakan oleh orang Jawa dalam hubungan kekeluargaan. Seringkali orang yang telah memutuskan untuk pindah ke suatu lingkungan yang baru dan berencana akan menetap untuk seterusnya, tetap ia bercita-cita untuk mampu berkomunikasi dengan desa asalnya, tempat di mana darah kelahirannya tumpah dan ari-ari (tali pusatnya) ditanam untuk kepentingan tersebut. Terkadang orang-orang Jawa  membayar orang lain untuk melakukan perawatan terhadap makam nenek moyangnya untuk menunjukkan bakti serta kesetiaannya terhadap leluhur akibat dari kesibukan yang belum memberikan kesempatan baginya yang tinggal di perantauan untuk melakukan perawatan sendiri secara rutin. Hal ini dilaksanakan karena masyarakat Jawa sangat dituntut untuk tidak lupa akan asal-usulnya.
Tradisi lain antara lain adalah mudik, pulang kampung pada saat lebaran setiap tahun yang di dalamnya ada tradisi nyadran. Mudik atau pulang kampung berfungsi sebagai pelipur lara dan tamba kangen, serta berbagi rezeki dengan memberikan oleh-oleh bagi keluarga dan tetangga setelah sekian lama tidak bertemu. Mudik biasanya diisi dengan acara keluarga yang bertujuan untuk mempererat tali silaturahmi dan disertai dengan ziarah kubur serta bacaan tahlil untuk memohonkan ampun leluhur agar mendapat magfirah, ampunan Allah SWT. Lebaran dengan berbagai tradisinya mampu memberikan terapi penyakit modernitas, penyakit orang modern karena beraktifitas monoton yang rutin dan membosankan.
Dalam wacana keislaman sendiri, silaturahmi menjadi semacam kewajiban sehingga tindakan memutuskan tali persaudaraan memperoleh ancaman dari Allah SWT seperti dalam surat Muhammad ayat 22-23:
Maka apakah sekiranya kamu berkuasa, kamu akan berbuat kerusakan di bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan? Mereka itulah orang-orang yang dikutuk Allah; lalu dibuat tuli (pendengarannya) dan dibutakan penglihatannya.”
Sedang dalam wacana sosial, falsafah mangan ora mangan kumpul yang mengedepankan silaturahmi, kebersamaan, dan tolong menolong ini sangat cocok dengan kodrat hidup manusia sebagai makhluk sosial bukan makhluk individu yang mampu hidup sendiri tanpa kehadiran orang lain.
Sebab untuk menciptakan keharmonisan, masyarakat Jawa mewajibkan diri untuk menjalin hubungan baik dengan tetangga dekat dengan memperhatikan berbagai kebutuhan mereka, dan sebanyak mungkin membagi segala sesuatunya dengan mereka, sering dinyatakan sebagai berikut: “Wonten sekedik dipundum sekedik, wonten kathah enggeh dipundum kathah”, bila ada rejeki sedikit , akan dibagi sedikit, bila ada rejeki banyak, juga akan dibagi banyak pula.
Dalam konteks sosial orang Jawa mementingkan kebersamaan meskipun akan kekurangan bahan makanan, itulah dasar pernyataan mangan ora mangan kumpul, makan tidak makan asal kumpul. Ironisnya dizaman sekarang, pandangan hidup seperti ini sudah berubah, kalau tidak bisa dikatakan kontradiktif. Pemujaan terhadap berhala materi membuat orang berpikir dangkal dan praktis. Dalam sebuah struktur material-oriented society yang menjadikan segi pencapaian materi untuk ukuran kesuksesan, falsafah luhur diatas tinggal kalimat kosong tanpa makna saja. Demi mengejar mangan, kita tak jarang mengorbankan kumpul. Bahkan saat diberi pilihan untuk ngumpul atau mangan, tak sedikit yang memilih mangan dulu. Pokoke kumpul ora kumpul sing penting mangan, berkumpul/ tidak berkumpul yang penting bisa makan. Hal ini sesuai dengan kecenderungan sikap individualistik masyarakat modern saat ini. Kebutuhan biologis seperti makan diperhatikan oleh masyarakat Jawa berbarengan dengan kebutuhan sosial untuk kebersamaan secara erat. Dirasa menyedihkan kedengarannya jika sebab makan dan kebutuhan biologis lainnya mengakibatkan percekcokan dan perselisihan.

No comments:

Post a Comment

embun di pagi hari

pada saat pagi menjelang takada yang muncul lebih awal dibandingkan dengan embun pagi . tak peduli ia di sapa , dihiraukan , di panggil...